Sabtu, 09 Oktober 2010

Kok Depresi??!!


         Dewasa ini, kenakalan remaja telah menjadi penyakit ganas di tengah-tengah masyarakat, mengingat remaja merupakan bibit pemegang tampuk pemerintahan negara di masa depan. Lebih parah, berbagai kasus kenakalan remaja tersinyalir telah meresahkan masyarakat, semisal kasus pencurian, kasus asusila seperti free sex, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Oleh berbagai praktisi media bahkan para pemerhati sosial hal ini telah banyak digubris dan dicari benang merahnya. Hanya saja, sejauh ini usaha tersebut belum terlihat goal dan terkesan hanya sebagai bahan berita di media massa dan diskursus oleh berbagai kalangan yang belum ada realisasi khusus.

            Sejatinya, kenakalan semacam itu normal terjadi pada diri remaja karena pada masa itu mereka sedang berada dalam masa transisi: anak menuju dewasa.  Seperti pemikiran Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985: 73), perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal. Terkait dengan kenakalan remaja, dalam bukunya yang berjudul “Rules of Sociological Method” disebutkan bahwa dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena tidak mungkin dihapusnya secara tuntas. Dengan demikian, perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan dilihat pada suatu perbuatan yang tidak disengaja. Namun, kontras dengan pemikiran tersebut, kenyataan yang akhir-akhir ini terjadi adalah kenakalan remaja yang disengaja, yakni dilakukan dengan kesadaran. Miris!

         Bisa kita lihat di sekeliling kita anak anak remaja putra dan putri sangat rentan dengan masalah kenakalan remaja ,anak remaja putri dan putra saat ini semakin liar. norma norma yang ada di lingkungan sekitar bisa saja di abaikan,kini remaja putra bisa di bilang agak lemah dan slalu mengalah,dan sebaliknya remaja putri yang bersifat seolah dirinya laki laki , bersifat agresif dan protektif dalam segala hal,banyak orang mengatakan jaman ini di katakan “jaman edan” bisa di bilang benar juga , kaum perempuan dan kaum laki laki terbalik saat ini ,di mana kaum laki laki mengikuti gaya kaum perempuan misalnya dengan cara berpakaian serba sempit telinga bertindik ibarat toko acssesoris berjalan ,berambut gondrong,dan sebaliknya kaum perempuan memakai baju serba kecil memamerkan lekuk tubuhnya,bertato,berambut pendek,pergaulan mereka tidak terkontrol,hal hal seperti ini bisa saja mengakibatkan kearah yang lebih penyebabnya tidaklah lain pengaruh terhadap tontonan, pengaruh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan pergaulan. Lingkungan keluarga yang dimaksud adalah cukup tidaknya pendidikan agama yang diberikan orangtua terhadap anaknya. Cukup tidaknya kasih sayang dan perhatian yang diperoleh sang anak dari keluarganya. Cukup tidaknya keteladanan yang diterima sang anak dari orangtuanya, dan lain sebagainya yang menjadi hak anak dari orangtuanya. Jika tidak, maka anak akan mencari tempat pelarian di jalan-jalan serta di tempat-tempat yang tidak mendidik mereka. Anak akan dibesarkan di lingkungan yang tidak sehat bagi pertumbuhan jiwanya. Anak akan tumbuh di lingkungan pergaulan bebas.

          Dalam lingkungan pergaulan remaja ABG, ada istilah yang kesannya lebih mengarah kepada hal negatif ketimbang hal yang positif, yaitu istilah ?Anak Gaul?. Istilah ini menjadi sebuah ikon bagi dunia remaja masa kini yang ditandai dengan nongkrong di kafe, mondar-mandir di mal, memahami istilah bokul, gaya fun, berpakaian serba sempit dan ketat kemudian memamerkan lekuk tubuh, dan mempertontonkan bagian tubuhnya yang seksi.

         Sebaliknya mereka yang tidak mengetahui dan tidak tertarik dengan hal yang disebutkan tadi, akan dinilai sebagai remaja yang tidak gaul dan kampungan. Akibatnya, remaja anak gaul inilah yang biasanya menjadi korban dari pergaulan bebas, di antaranya terjebak dalam perilaku seks bebas.orangtua sebagai penanggung jawab utama terhadap kemuliaan perilaku anak, harus menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis dalam keluarganya. Kondisi rumah tangga harus dibenahi sedemikian rupa supaya anak betah dan kerasan di rumah.
  • Kembangkan komunikasi dengan anak yang bersifat suportif. Komunikasi ini   ditandai lima kualitas; openness, empathy, supportiveness, positivenes, dan equality.
  • Tunjukkanlah penghargaan secara terbuka. Hindari kritik. Jika terpaksa, kritik itu harus disampaikan tanpa mempermalukan anak dan harus ditunjang dengan argumentasi yang masuk akal.
  • Latihlah anak-anak untuk mengekspresikan dirinya. Orangtua harus membiasakan diri bernegosiasi dengan anak-anaknyaa tentang ekspektasi perilaku dari kedua belah pihak. Keempat, ketahuilah bahwa walaupun saran-saran di sini berkenaan dengan pengembangan harga diri, semuanya mempunyai kaitan erat dengan pengembangan intelektual. Proses belajar biasa efektif dalam lingkungan yang mengembangkan harga diri. Intinya, hanya apabila harga diri anak-anak dihargai, potensi intelektual dan kemandirian mereka dapat dikembangkan.

Pengaruh psikologis
            Remaja, seperti dikatakan di atas, yang merupakan masa transisi dari anak menuju dewasa, memiliki potensi besar untuk melakukan hal-hal menyimpang dari kondisi normal. Seperti ada pergolakan dalam diri mereka untuk melakukakan hal-hal yang berbeda dengan yang lain di sekelilingnya, hal-hal yang dianggap normal oleh kebanyakan orang. Sependapat dengan hal itu, Becker (dalam Soerjono Soekanto, 198: 86), mengatakan bahwa mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal itu disebabkan karena setiap manusia pada dasarnya pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu. Sebaliknya, orang yang dianggap normal dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang. Tak pelak, dorongan semacam itupun didasari oleh berbagai hal, seperti motif untuk mencari sensasi, bahkan karena sifat dasar remaja yang  pada usia itu sedang melalui tahap mengidentifikasi, semisal yang dilakukan dari tokoh idola atau yang dianggapnya wah.

Lingkungan, Pembentuk Karakter Remaja
            Selain pengaruh psikologi, lingkungan pun memiliki pengaruh vital dalam pembentukan karakter remaja yang selanjutnya akan diperankan dalam proses sosialisasinya sebagai makhluk sosial, termasuk perannya untuk berbuat kenakalan atau tidak. Seseorang dapat menjadi buruk atau jelek karena hidup dalam lingkungan yang buruk. Lebih jauh dikritisi, kondisi semacam itu memungkinkan remaja melakukan penyimpangan karena lingkungan telah mengalami disorganisasi sosial, sehingga nilai-nilai dan norma yang berlaku telah lapuk atau seakan tinggal nama/ sebagai simbol. Dengan kata lain, sanksi yang ada seolah sudah ‘tidak’ berlaku lagi.
            Remaja semacam itu yang oleh Kartini Kartono (1988: 93) disebut  sebagai anak cacat sosial atau cacat mental sebenarnya sudah mengalami demoralisasi atau pemerosotan gradasi moral. Selain karena kondisi sosial di atas, kondisi keluarga pun sangat menentukan, terutama proses pendidikan dari orang tua sebagai upaya pembentukan karakter (character building) anak. Sebagai bukti, Masngudin HMS, dalam sebuah penelitiannya tentang hubungan antara sikap orang tua dalam pendidikan anaknya dengan tingkat kenakalan di Pondok Pinang, Jakarta, menyebutkan bahwa salah satu sebab kenakalan adalah sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Dari 30 koresponden, mereka yang orang tuanya otoriter sebanyak 5 responden (16,6%), overprotection 3 responden (10%), kurang memperhatikan 12 responden (40%), dan tidak memperhatikan sama sekali 10 responden (33,4%). Dari data seluruh responden yang orang tuanya tidak memperhatikan sama sekali melakukan kenakalan khusus dan yang kurang memperhatikan 11 dari 12 responden melakukan kenakalan khusus. 
Terkait dengan pembentukan karakter, penelitian itu pun cukup menjadi bukti vitalitas pendidikan keluarga. Keluarga yang represif (selalu memberikan hukuman) dan otoriter akan cenderung membentuk sifat yang keras pada pribadi anak sehingga mereka lebih berpotensi untuk ‘agresif’, atau sebaliknya bagi psikis mereka yang tidak kuat atas bentuk didikan orang tuanya akan menjadikan sifat ‘lembek’ atau lemah. Ini berbeda dengan bentuk prefentif atau pemberian nasehat dan pujian, bahkan pemberian kesempatan bagi remaja untuk mencurahkan gagasannya. Mereka akan terbentuk menjadi pribadi yang cenderung dapat menghargai orang lain, dan berbagai perilaku yang lebih jauh dari bentuk penyimpangan. Sebuah tulisan menarik, Samuel Smiles (1887) mencatat dalam bukunya Life and Labor: tanamkan pemikiran, dan kamu akan memanen tindakan. Tanamkan tindakan, dan kamu akan memanen kebiasaan. Tanamkan kebiasaan, dan kamu akan meraih karakter. Tanamkan karakter dan kamu akan memanen tujuan. Beranjak dari kata bijak itu, karakter merupakan modal awal dari hasil interaksi seseorang, termasuk remaja, untuk mencapai kehidupan yang penuh dengan ketenangan kelak. Sayangnya, pembentukan tersebut belum sepenuhnya diterapkan di sejumlah banyak keluarga, terlihat dari proses pendidikan yang terkesan memanjakan anak, bahkan pendidikan yang termanjakan oleh kemajuan zaman/globalisasi.Ya, ternyata karakter remaja dan ujung-ujungnya berbagai kasus kenakalan pun tak jauh-jauh dari globalisasi, terutama di bidang teknologi, serta westernisasi (budaya kebarat-baratan). Belum lama, seperti yang sudah dikoar-koarkan berbagai media, kasus smack down yang sempat memiliki rating tinggi dalam tayangan televisi di Indonesia telah mengambil posisi tersendiri di kalangan anak/ remaja. Mereka dengan serta merta mempraktekan adegan semacam itu yang pada akhirnya menjadikan suatu bentuk kriminalitas remaja.
Selain itu, berbagai adegan pornografi di televisi mulai dari kasus ringan-berat pun telah menjadi bentuk pendidikan nilai-nilai yang tidak sepantasnya dilakukan terhadap remaja. Mereka yang sebenarnya membutuhkan asupan gizi semisal berupa tontonan yang mendidik yang mencerminkan insan cendekia, intelek, atau akademis, telah diracuni dengan berbagai adegan pacaran bahkan bentuk kegiatan seksual yang lebih jauh/ parah.  Bidikan semacam itu rupanya sangat ampuk membangun karakter tempe setiap anak/ remaja. Sekretaris tetap dalam Kementrian Luar Negeri Singapura, Kishore Mahbubani (dalam John Naisbitt dalam bukunya yang berjudul “Megatrends Asia),” mengimbau Barat untuk tidak lagi “meng-kuliah-i” orang-orang Asia karena Barat tidak memiliki kualifikasi moral (moral standing) untuk memberitahu orang lain apa yang harus dilakukan. Ia menganggap bahwa masyarakat Barat telah kacau. Ini seyogyanya menjadi dasar agar masyarakat tidak lagi mendewakan Barat sebagai patokan dalam pergaulan (terutama bagi remaja). Dan tak bisa dipungkiri lagi bahwa sebenarnya budaya di atas adalah budaya yang banyak dipengaaruhi oleh Barat yang dalam hal tertentu sebenarnya sangat kurang memuat nilai-nilai ketimuran. Yaitu yang kurang memuat nilai etika dan unggah-ungguh (kesopanan-Jawa).Menanggapi polemik tersebut, seyogyanya harus ada penanganan serius dan berkesinambungan oleh berbagai elemen masyarakat.
·         Orangtua harus selalu mengembangkan karakter (character building) anak, yakni membangun jiwa anak dengan tabiat/ sifat-sifat yang penuh dengan nilai-nilai kebaikan. Pentingnya peran keluarga dalam mendidik nilai-nilai anak sejak dini menjadikan orangtua harus dapat menjadi sang maestrobuah jatuh tak jauh dari pohonnya. Singkatnya, orangtua pun harus memiliki sifat yang baik pula.  yang dapat dijadikan teladan oleh anak. Ingat sepenggal peribahasa,
·         Sekolah yang kini ibaratnya menjadi rumah kedua bagi anak harus mampu menciptakan kultur sekolah yang relevan dengan perkembangan psikis remaja: kultur yang penuh dengan pembentukan karakter positif. Misalnya, pendidikan nir-kekerasan, serta berbagai keculasan semisal menghindarkan murid pada budaya mencontek yang juga merupakan salah saatu bentuk kenakalan remaja bertaraf ringan. Penghargaan terhadap prestasi siswa pun sangat diperlukan untuk menumbuhkan etos juang, semisal ucapan terima kasih atau pemberian pujian, serta bentuk pembelajaran tanggung jawab semisal minta maaf baik oleh siswa maupun guru apabila melakukan suatu kesalahan. Dan ini oleh Jepang pun telah lama ditumbuhkan pada pribadi siswa.
Selain itu, pendidikan etika/ moral pun harus tetap diupayakan secara teoritis. Pendidikan pancasila/ kewarganegaraan dan agama yang memuat nilai-nilai moral saat ini terkesan mulai ditinggalkan karena sejumlah banyak siswa lebih tertarik untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu-ilmu eksak ataupun sosial. Inilah tugas guru yang bersangkutan atau pihak kurikulum untuk menjadikan mata pelajaran tersebut menarik lagi di mata siswa dan dapat dijadikan ramuan jiwa yang mujarab dalam pembentukan karakternya.
  • Bersama semua pihak, termasuk pemerintah dalam hal penanganan kenakalan remaja dan berbagai kebijakannya, semoga kenakalan remaja tidak semakin menjadi, cukup menjadi kenakalan yang normal pada diri remaja dalam ‘menikmati’ masa remajanya karena seorang filsuf, Kahlil Gibran pun mengatakan bahwa anak-anak memiliki generasi dan dunianya sendiri. Semoga remaja Indonesia tumbuh menjadi remaja yang kelak mampu mempersembahkan kejayaan dengan karakter yang baik sehingga nama Indonesia pun tersiar kepenjuru dunia bak kasturi. Tabik![]
  
        Biasanya si anak itu selalu ceria, setiap hari selalu segar dengan banyolan-banyolannya tapi hampir tiga hari ini dia terlihat muram dan sedih, jangankan membuat lelucon bergabung dengan teman-temanpun sepertinya enggan..aneh memang..tapi apa yang membuat dia berubah sepeti itu..”Gue lagi banyak masalah dan gue ngerasa depresi” aku dirinya jujur. Depresi? Apa benar Ria dihinggapi Depresi seperti diakuinya...Namun disisi lain mudah sekali untuk mengatakan depresi, kalau kamu menganggap bahwa kamu mengalami depresi dan kalau kamu merasa bahwa kamu mengalami depresi, maka kamu memang mengalami depresi. Seringkali memang hanya sesederhana itu tetapi itu memang benar.Depresi merupakan keadaan sakit jiwa ringan, bukan hanya merupakan rasa sedih biasa yang setiap orang merasakannya, bisa jadi rasa sedihnya memang lebih berat ketimbang apa yang dialami oleh orang-orang karena tidak menutup kemungkinan rasa sedih itu berasal dari suatu masalah yang terlalu berat dilaluinya (tanpa solusi yang tidak dia miliki).

GEJALA
         Selain rasa sedih yang berlarut-larut, penderita depresi akan kehilangan perhatian terhadap aktifitas sehai-hari, bahkan tidak bisa berkonsentrasi dan membuat keputusan sedangkan gejala fisik yang menyertai gangguan pada kebiasaan tidur seperti tidak dapat tidur dan gelisah, penderita juga akan dihinggapi rasa cemas, tidak mau bergaul bahkan berbiara, merasa lelah, merasa kesepian, tidak berharga dan merasa bersalah.

PENYEBAB
         Ada banyak sebab bahkan depresi bisa pula terjadi karena suatu sebab yang nyata.Penyebab paling bayak adalah karena adanya tekanan batin berat karena suatu peristiwa yang tidak dapat diterima oleh dirinya, seperti kematian orang yang dicintai, perceraian namun tak jarang cewek bisa menderita depresi saat haid.

JANGAN DIBIARKAN
         Kamu merasa menderita depresi, jangan dibiarkan hal itu berlarut-larut segeralah mengusir depresi itu karena jika dibiarkan terus menerus akan merugikan diri sendiri, cobalah untuk mencari penyebab depresi yang kamu alami kemudian berusahalah untuk mencari solusinya, jika tak mampu memecahkannya sendiri, berkonsultasilah dengan seorang keluarga, teman atau mungkin seorang ahli jiwa (psikiater). Percayalah pada setiap kesulitan selalu ada jalan keluar.

PENCEGAHAN DARI DEPRESI
1.Terimalah Ide bahwa mempunyai konflik-konflik emosional itu merupakan hal           yang wajar saja.Kamu tidak perlu merasa terganggu dan menderita karena memiliki konflik-konflik emosional. Konflik-konflik emosional merupakan hal yang wajar bagi manusia, kita semua memiliki konflik-konflik tersebut.
2. Jangan melampiaskan keinginan-keinginan yang tidak teraih dengan cara yang tidak bertanggung jawab
3. Jadilah orang-orang yang berorientasi pada kenyataan dalam keputusan-keputusan dan perilaku anda
4. Belajar untuk memaafkan diri sendiri dari kesalahan-kewsalahan yang telah dilakukan.Depresi sering merupakan akibat dari kritik terhadap diri sendiri yang berlebihan mengenai superego yang terlalu menghukum. Perasaan bersalah kadang-kadang bersifat khayal atau terlalu dibesar-besarkan, membuat seseorang merasa tidak berarti. Cobalah untuk tidak menyalahkan diri sendiri. Gantilah sikap menyalahkan diri sendiri denggan sikap yang realistis.Berikan perhatian dan energi kamu pada masa depan dan apa yang bisa kamu lakukan mendatang.
5. Membiasakan diri menceritakan setiap masalah yang kamu alami
Menceritakan setiap moment yang kamu alami setiap hariya akan membantu kamu dalam memahami diri kamu
6. Kalau kamu kesal carilah pelampiasan-pelampiasan yang tidak berbahaya untuk dorongan-dorongan agresif

JALAN KELUAR DARI DEPRESI
Dan apabila pada kenyataannya kamu justru telah bergelut dengan apa yang dinamakan Depresi, apa yang harus kamu lakukan?cobalah untuk melakukan hal-hal berikut ini
1. Menerima keadaan diri
2. Memahami penyebab dari Depresi
3. Hentikan menilai diri secara berlebihan
4. Tentukan cita-cita yang realistis
5. Hiduplah untuk saat ini
6. Ambil tujuan hidup yang mendorong
7. Bergaul
8. Terima cobaan sebagai suatu hikmah
9. Simak penyebab Depresi yang terselubung
10. Kejujuran dan keterbukaan
11. Do’a


* * *
Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia akan belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,  maka ia akan belajar membenci.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, maka ia akan belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia akan belajar menyesali diri.
Sebaliknya…
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia akan belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, maka ia akan belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, maka ia akan belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, maka ia akan belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, maka ia akan menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, maka ia akan menyenangi diri.
Dan jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia akan menemukan cinta dalam kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar